'Pulong Gantung' dan fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, angka tertinggi di Indonesia
PurwakartaOnline.com - Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah dengan pre-valensi angka bunuh diri tertinggi di tanah air. Tercatat, terjadi 9 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang angka rata-rata kasus bunuh diri tanah air, yakni 1,2 kasus per 100.000 penduduk. Parahnya, sebagian besar pelaku bunuh diri terkategori dalam kelompok usia remaja dan dewasa muda.
Memang, di samping akibat persoalan ekonomi, tingginya angka bunuh diri di Gunung Kidul tak lepas dari mitos “pulong gantung” yang menjadikan tindakan tersebut sebagai bisa dimaklumi oleh masyarakat setempat (Amarullah, 2009). Pulong gantung adalah semacam cahaya (bintang) berekor dengan warna-warna tertentu yang jatuh di atap rumah warga dan dipercaya memuat sejumlah pesan.
Dikatakan, apabila pulong tersebut berwarna putih atau biru, maka keberuntunganlah yang dibawanya, semisal menang dalam pilihan kepala desa atau mendapat lotre. Namun sebaliknya, apabila pulong tersebut berwarna merah, maka kesialan atau tragedilah yang bakal menimpa, umumnya tragedi tersebut diasosiasikan dengan salah satu warga yang akan melakukan aksi bunuh diri di kemudian hari (Catur, 2010: 39-41).
Menilik eksistensinya sebagai local genious ‘kearifan lokal’ masyarakat setempat, mitos pulong gantung memang perlu di hargai. Namun, menilik besarnya implikasi negatif yang ditimbulkannya, mitos tersebut layak ditinjau kembali. Memang, demikian abstrak untuk menggambarkan relasi yang terjadi antara penampakan pulong dengan tindakan bunuh diri mengingat pengkajian terkait berada dalam tataran metafisika.
Bisa jadi, seorang warga yang sebelumnya memang telah frustasi dan berniat mengakhiri hidup, bertambah bulat niatnya karena serasa menyaksikan pulong. Dengan demikian, ia akan berpikir bahwa “waktunya telah tiba”. Di sisi lain, pulong tersebut dapat pula sekadar dijadikan kedok atau tameng untuk melegitimasi tindakannya.
Dalam hal ini, sang pelaku sama sekali tak melihat penampakkan pulong, namun dikarenakan mitos tersebut ajeg dilestarikan masyarakat sekitar, maka ia merasa leluasa melakukan aksi bunuh diri, toh nanti masyarakat akan menganggapnya sebagai akibat penampakan pulong—menjadi perihal yang dimaklumi sebagaimana telah diutarakan sebelumnya.
Oleh karenanya, keberadaan pulong bisa jadi sekadar dijadikan sebagai “kambing hitam”, ia menjadi semacam kedok motif bunuh diri seseorang di hadapan masyarakatnya meskipun motif yang sesungguhnya bukanlah hal yang dimaksud: penampakan pulong gantung.
Salah satu cara guna “menjinakkan” mitos pulong gantung tanpa harus menghilangkan keberadaannya adalah dengan melakukan re-interpretasi atau penafsiran ulang. Di sini, peran pemuka masyarakat dan kaum intelektual diperlukan mengingat kedudukan mereka —pemuka masyarakat, terutama—sebagai pemberi makna dan pembentuk pola pikir masyarakat.
Bisa saja pulong gantung tak lagi dimaknai secara saklek sebagai pertanda akan adanya salah satu warga yang hendak bunuh diri, melainkan sebagai pengingat kepada masyarakat untuk menjaga kebersamaan diantara mereka sehingga tidak ada salah satu warganya yang menanggung beban berikut kesulitan hidup seorang diri.
Hal tersebut misalnya dapat ditempuh dengan perutinan rembug warga atau acara kumpul-kumpul (baca: silaturahmi) yang salah satunya berfungsi sebagai penghilang halangan rentang geografis di daerah Gunung Kidul. Melalui re-interpretasi mitos pulong gantung, diharapkan tingginya angka bunuh diri di daerah Gunung Kidul dapat ditekan secara signifikan. Terlebih dengan mengingat bahwa sebagian besar dari pelaku adalah mereka yang tergolong usia remaja dan dewasa muda. (*)
* Tulisan ini adalah sebuah uraian dalam sebuah sub-judul 'Masyarakat: Re-Interpretasi Mitos “Pulong Gantung”, Sebuah Contoh Kasus.
* Bagian dari Jurnal berjudul 'Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi: Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh Diri di Kalangan Pemuda Indonesia'.
* Ditulis pada tahun 2012 oleh Wahyu Budi Nugroho, seorang Peneliti Independen yang juga merupakan Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi, Fisipol di Universitas Gadjah Mada (UGM).
* Gambar: pixabay