Digitalisasi Foto Jurnalistik Analog Harian Kompas (Bagian 2)
Foto: Glints |
Harga ecerannya Rp25 dan langganan per bulan Rp500 (Margiyanto, 2017). Fotografer pertama Harian Kompas adalah Pat Hendranto.
Bergabung sebagai wartawan tulis pada 1967, salah satu foto penting Pat adalah pelantikan Soeharto dari pejabat presiden menjadi presiden pada 27 Maret 1968.
Diangkatnya Pat sebagai fotografer adalah akibat liputan kedatangan jenazah Soe Hok Gie pada Desember 1969 di Kemayoran. Saat itu ditugaskan tiga orang wartawan meliput.
Mereka tidak datang bersamaan namun saling tahu bahwa ada kolega di lapangan yang juga meliput membawa kamera.
Mereka tersebar di titik yang berbeda dan saling berpikir rekan mereka telah memotret. Rupanya sampai di redaksi tidak ada yang memotret.
Dari kecelakaan tersebut Jacob Oetama waktu itu menyuruh Pat fokus menjadi fotografer untuk redaksi. Sesudah Pat, masuk Kartono Ryadi pada 1971.
Seiring pertumbuhan Kompas sebagai surat kabar nasional, maka perusahaan merekrut fotografer-fotografer baru. Sejalan dengan waktu, teknologi fotografi terus berkembang dan memudahkan fotografer.
Otomatisasi dengan perangkat elektrik mulai menyentuh kamera dari aspek pengukuran cahaya, penggulung, auto-fokus, kecepatan, dan seterusnya. Namun media perekaman gambar masih menggunakan rol film.
Istilah rol film adalah gulungan film yang berpusat di satu batang dan tersimpan di dalam canister. Film berbahan cellulose triacetate atau polyester bening dengan lapisan gelatin dan emulsi.
Setelah film merekam cahaya dari lensa di badan kamera, tersimpanlah gambar laten, yang muncul dan permanen setelah melalui proses pengembangan dan penetapan di laboratorium foto.
Proses terakhir tersebut sering disebut masyarakat sebagai “cuci film”. Harian Kompas memiliki laboratorium cuci-cetak film yang berada di satu komplek gedung redaksi yang dikelola oleh petugas lab foto secara profesional.
Dengan kepemilikan mesin lab ini, jurnalis foto Harian Kompas tinggal menyerahkan rol film mereka usai memotret di lapangan, kemudian mencatatnya di buku penerimaan film. Jurnalis foto tidak perlu ke laboratorium foto yang biasa dikelola studio foto di luar.
Di beberapa kesempatan ketika jurnalis foto melakukan liputan ke luar kota dan ke luar negeri, mereka membawa perlengkapan cuci film berupa developer dan fixer dalam bentuk bubuk atau cair.
Mereka biasa menggunakan fasilitas di kamar mandi hotel atau toilet untuk mencampur larutan dan membilas film. Dari keterangan Arbain Rambey, di awal 1990-an jurnalis foto Kompas bisa mengirim foto menggunakan AP Leafax 35.
Sebuah transmitter negatif foto berbentuk alat portabel dalam sebuah koper yang dikembangkan Associated Press pada 1988 sebagai penerus drum scanner.
Foto dikirim melalui sambungan telepon dengan kecepatan 9 menit untuk foto hitam-putih, dan 30 menit untuk foto berwarna.
Pengiriman foto bisa terputus dan mengulang bila jaringan telepon buruk. Foto kemudian diterima menggunakan perangkat receiver yang bisa langsung mencetak foto.
Pengiriman foto jarak jauh Kompas menggunakan AP Leafax 35 hanya sampai 1994 karena setelah itu redaksi menggunakan jaringan internet.
Negatif foto dipindai dengan Nikon CoolScan untuk menjadi file digital yang kemudian dikirim melalui sambungan modem.
Menurut Rambey (2013, Oktober 29), saat kamera Single Lens Reflex (SLR) dengan perekam digital mulai dipasarkan pada 1990 oleh Kodak dengan badan kamera Nikon F3, Kompas belum tertarik karena harga kamera yang terlampau tinggi.
Kodak kemudian menawarkan kembali kamera digital pada 1995 dengan pilihan badan Nikon F4 atau Canon Eos-1 kepada Arbain Rambey.
Harian Kompas baru membeli kamera digital Kodak DCS pada akhir Oktober 1997 dengan badan Nikon F90/N90.
Pemilihan DCS seri 400 berbadan Nikon karena sistem lensa yang selama ini dipakai redaksi Kompas adalah Nikon. Kamera beresolusi 1 Megapixel tersebut dibeli seharga sekitar 16.000 Dollar (Kenangan 16 Tahun Berkamera Digital. Kompas, p.36).
Kamera digital pertama Harian Kompas hanya digunakan untuk liputan acara-acara penting atau liputan yang memerlukan waktu cepat mengejar tenggat.
Hal itu dikarenakan resolusi kamera yang masih rendah, secara kualitas masih kalah dibanding ketajaman film analog.
Dari Rambey, “Tahun 2000, produsen Jepang mulai mengeluarkan kamera digital. Kompas membeli Nikon D-1 yang berkapasitas 2,75 megapiksel seharga sekitar Rp 70 juta,” (Kompas 29 Oktober 2013. hal 36) Kelahiran fotografi digital merevolusi praktik foto jurnalistik termasuk di Harian Kompas.
Setelah era DSLR, praktik foto analog ditinggalkan sehingga memangkas tahapan kerja yang harus dilalui jurnalis foto sebelum foto mereka sampai di meja redaktur. Kerja jurnalis foto juga semakin efisien, cepat, dan dengan mutu gambar yang lebih baik. (*)
Taufan Wijaya, Aditya Heru Wardhana. 2021. DIGITALISASI FOTO JURNALISTIK ANALOG HARIAN KOMPAS. Universitas Multimedia Nusantara. JURNAL DEKAVE VOL.1, NO.1. https://journal.isi.ac.id/index.php/dkv/article/view/5712/2248, diakses pada tanggal 17 Januari 2022.