Jokowi hadapi PENJAJAH: Dulu ada tanam paksa, kerja paksa, sekarang ada ekspor paksa!
Presiden Joko Widodo |
Indonesia mendapatkan tekanan Eropa karena membatasi ekspor mineral, seperti batubara, nikel kemudian bauksit dan lain-lain.
Bahkan Eropa mengancam akan mengadukan hal ini ke WTO, namun Indonesia tetap pada pendiriannya.
Presiden Jokowi di hadapan para menteri kembali menegaskan bahwa Indonesia berdaulat, tidak akan tunduk kepada Eropa, baik mengenai mineral maupun komoditas lainnya.
Presiden Jokowi bahkan mengibaratkan tekanan Eropa selayaknya penjajahan di masa VOC.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa dahulu jaman penjajahan, ada yang dinamakan kerja paksa, tanam paksa dan di jaman penjajahan modern ada yang disebut ekspor paksa.
"Dulu jaman VOC, jaman Kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Jaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa!" ujar Jokowi.
Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan kedaulatan Bangsa Indonesia terkait hasil bumi dan tambang di Negara Indonesia.
"Kita dipaksa untuk ekspor! Lho, ini barang kita kok," tegas Jokowi.
Meskipun begitu takanan negara-negara Eropa begitu besar, Indonesia diancam dan memang diadukan ke WTO.
Indonesia juga ditakut-takuti dengan 'dampak buruk' jika berhenti ekspor mineral mentah ke Eropa.
"Memang sudah saya sampaikan kemarin, kita kalah. Tapi apa kita langsung pingin berhenti? Tidak!"
Mengenai nikel, Presiden instruksikan menteri terkait untuk mengajukan banding.
Menegaskan Indonesia bersikeras mempertahankan haknya atas barang milik rakyatnya.
"Sudah saya sampaikan pada menteri, (untuk) banding! (urusan nikel)," ucap Jokowi.
Presiden Jokowi tetap tegak berdiri untuk melawan segala tekanan negara-negara maju yang memaksa Indonesia untuk mengekspor bahan mentah.
Karena, menurut Presiden Jokowi, Bangsa Indonesia memiliki impian untuk mandiri secara ekonomi.
Oleh karena itu, Indonesia harus membangun ekosistem ekonomi berdasarkan modal Sumber Daya Alam yang dimiliki.
"Ekosistem besar (ekonomi Indonesia) yang kita impikan ini tidak akan muncul (jika berhenti memperjuangkan kedaulatan atas mineral milik Negara Indonesia)," tegas Presiden Jokowi.***
Bahkan Eropa mengancam akan mengadukan hal ini ke WTO, namun Indonesia tetap pada pendiriannya.
Presiden Jokowi di hadapan para menteri kembali menegaskan bahwa Indonesia berdaulat, tidak akan tunduk kepada Eropa, baik mengenai mineral maupun komoditas lainnya.
Presiden Jokowi bahkan mengibaratkan tekanan Eropa selayaknya penjajahan di masa VOC.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa dahulu jaman penjajahan, ada yang dinamakan kerja paksa, tanam paksa dan di jaman penjajahan modern ada yang disebut ekspor paksa.
"Dulu jaman VOC, jaman Kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Jaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa!" ujar Jokowi.
Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan kedaulatan Bangsa Indonesia terkait hasil bumi dan tambang di Negara Indonesia.
"Kita dipaksa untuk ekspor! Lho, ini barang kita kok," tegas Jokowi.
Meskipun begitu takanan negara-negara Eropa begitu besar, Indonesia diancam dan memang diadukan ke WTO.
Indonesia juga ditakut-takuti dengan 'dampak buruk' jika berhenti ekspor mineral mentah ke Eropa.
"Memang sudah saya sampaikan kemarin, kita kalah. Tapi apa kita langsung pingin berhenti? Tidak!"
Mengenai nikel, Presiden instruksikan menteri terkait untuk mengajukan banding.
Menegaskan Indonesia bersikeras mempertahankan haknya atas barang milik rakyatnya.
"Sudah saya sampaikan pada menteri, (untuk) banding! (urusan nikel)," ucap Jokowi.
Presiden Jokowi tetap tegak berdiri untuk melawan segala tekanan negara-negara maju yang memaksa Indonesia untuk mengekspor bahan mentah.
Karena, menurut Presiden Jokowi, Bangsa Indonesia memiliki impian untuk mandiri secara ekonomi.
Oleh karena itu, Indonesia harus membangun ekosistem ekonomi berdasarkan modal Sumber Daya Alam yang dimiliki.
"Ekosistem besar (ekonomi Indonesia) yang kita impikan ini tidak akan muncul (jika berhenti memperjuangkan kedaulatan atas mineral milik Negara Indonesia)," tegas Presiden Jokowi.***